Sabtu, 28 Januari 2012

PNI DAN MARHAENISME

Dalam buku Nasionalisme Mencari Ideologi tulisan J. Eliseo Rocamora, disebutkan bahwa sejak lahir kembali pada 1946, PNI sudah menengok Marhaenisme sebagai asas partai, meski penafsirannya berubah-ubah dari waktu ke waktu. Dan perubahan itu tak terlepas dari pengaruh Bung Karno.
Dalam kongres ke-3 tahun 1948, Marhaenisme diterjemahkan sebagai “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”. Sosio-nasionalisme adalah rasa kebangsaan yang terbentuk karena persamaan nasib dan
kepentingan. Ia mengakui perbedaan di antara umat manusia, namun menentang kolonialisme dan kapitalisme. Sedangkan sosio-demokrasi mengakui hak setiap individu untuk hidup sejahtera bersama yang
lain. Pada konsepsi tersebut, warna Marxis yang menentang individualisme dan menonjolkan pertentangan kelas, serta radikal tak terlihat. Boleh jadi karena waktu itu PNI dipimpin kaum priayi yang konservatif.
Sukses Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Pemilu 1955 merisaukan partai-partai lain, termasuk PNI. Apalagi PKI terlihat begitu agresif untuk mendekati Bung Karno agar dapat duduk di kabinet. Seiring dengan jatuh-bangunnya kabinet dan terjadinya berbagai pemberontakan daerah, pendulum semangat politik Bung Karno mulai
bergerak ke Kiri, meskipun masih samar-samar.
Dalam serangkaian kursusnya tahun 1958, Bung Karno mengecam orang-orang yang sok mengerti Marhaenisme. Lalu ia membeberkan makna yang benar menurut pikirannya. “Marhaenisme adalah Marxisme
yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia. Marhaenisme ini bahasa asingnya is het in Indonesia toegepaste Marxisme,” ujar Bung Karno, sebagaimana dikutip Nazaruddin Sjamsuddin dalam bukunya PNI dan Kepolitikannya.
Penafsiran Bung Karno tersebut mendapat lahan subur di zaman Demokrasi Terpimpin yang dimulai pada 1959, tatkala pusat kekuasaan beralih ke tangan Bung Karno. Berbagai kekuatan politik sangat tergantung kepadanya. Ini memungkinkan Bung Karno untuk memaksakan gagasannya.
Sejak awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Bung Karno terus mendesak PNI agar menerima Marhaenisme sesuai dengan pengertiannya. Para tokoh PNI konservatif yang mencoba menentangnya disingkirkan. Kongres PNI ke-9 di Solo pada 1960 merupakan awal kemenangan Bung Karno. Di sini ia ditabalkan sebagai “Bapak Marhaenisme”.
Definisi bahwa Marhaenisme adalah penerapan Marxisme secara resmi diterima dalam kongres partai ke-10 di Purwokerto, Jawa Tengah, September 1963, dalam bentuk resolusi. Ketika itu PNI dipimpin Ali Sastroamidjojo (Ketua Umum) dan Surachman (Sekjen). Ali dan Surachman pula yang menggiring sidang Badan Pekerja Kongres (BPK) partai di Lembang, Bandung, pada November 1964, untuk menghasilkan “Deklarasi Marhaenisme”, sebagai penjabaran defisini Marhaenisme itu.
Deklarasi tersebut antara lain berbunyi: “Tidak ada gerakan revolusioner yang tidak didasarkan pada teori revolusi. Marhaenisme adalah teori revolusi yang didasarkan pada massa actie. Dengan demikian, kondisi perjuangan Marhaenis haruslah revolusioner dan didasarkan pada konsepsi dua tahap revolusi.
Yang pertama adalah fase nasional demokratis dan yang kedua fase sosialis. Karena itu perjuangan harus dipimpin oleh petani dan buruh.”
Deklarasi juga mengakui bahwa PNI adalah alat revolusi yang didasarkan pada pada buruh dan petani, dan dipimpin oleh unsur-unsur yang tepat. Untuk mencapai kemenangan kaum Marhaen, mereka harus disatukan dalam Front Marhaenis yang bersifat dinamis, militan, radikal, berdisiplin, dan berdedikasi penuh kepada tujuan Marhaen. Deklarasi tersebut menuntut tindakan yang lebih tegas dalam wujud program kerja partai. Umpamanya, memakai
materialisme historis Marxis sebagai metode berpikir, berjuang, dan memahami kondisi sejarah perjuangan rakyat Indonesia.
Program yang mencolok adalah pembersihan terhadap pimpinan partai dan ormas pendukung PNI di semua tingkat. Ada dua kelompok yang dilarang memimpin partai, yakni pengusaha, tuan tanah, atau mereka yang berjiwa tuan tanah.
Para pemimpin PNI konservatif menyadari “bahaya” penerapan Deklarasi Marhaenis. Mereka mencoba menentang dan terdepak. Pada Agustus 1965, tujuh anggota terpenting kelompok sayap Kanan dalam pimpinan PNI tingkat nasional dipecat dari keanggotaan partai — bukan cuma dicopot dari jabatannya. Antara lain Hardi (Wakil
Ketua I), Osa Maliki (Wakil Ketua II), Mohamad Isnaeni (Wakil Sekjen), dan Hadisoebeno Sosrowerdojo (anggota DPP Pleno).
Dua bulan berikutnya, Ukar Bratakusumah — juga anggota DPP Pleno — dan sekitar 150 pimpinan PNI di berbagai daerah, menerima nasib serupa: dipecat dari keanggotaan partai. Di Jawa Tengah, yang waktu itu menjadi benteng kekuatan PNI konservatif (sayap Kanan), yang didepak antara lain Hadisoebeno (Ketua I DPD), Umar
Said (Ketua III), dan Soetrisno (Ketua IV), plus 11 ketua cabang partai di bawah DPD Jawa Tengah.
Jawa Barat, yang juga basis kekuatan konservatif, tak luput dari pembersihan. Sejumlah tokoh PNI terkemuka di lingkungan DPD Jawa Barat yang dianggap Kanan digulung habis. Umpamanya Ukar Bratakusumah, Usep Ranawidjaja, Sunawar Sukowati, Sanusi Hardjadinata (bekas Menteri Dalam Negeri Kabinet Kerja), dan Osa
Maliki.
Pemberontakan G-30-S/PKI yang gagal merupakan pukulan balik terhadap Bung Karno dan pimpinan PNI sayap Kiri. Ketika Bung Karno limbung, tokoh-tokoh PNI sayap Kanan yang dulu disingkirkan mengambil alih kepemimpinan partai, lalu mengadakan Kongres Pemersatuan di Bandung pada April 1966. Dalam kongres ini
terpilih Osa Maliki sebagai ketua umum dan Usep Ranawidjaja sebagai sekjen.
Maka pada 21 Desember 1967, mereka mengeluarkan “Pernyataan Kebulatan Tekad”. Isinya menegaskan bahwa Marhaenisme bukanlah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme, dan Sosio Demokrasi. Lalu gelar “Bapak Marhaenisme” kepada Bung Karno — yang waktu itu terjepit secara politik — mereka cabut. Mereka juga mendukung pelaksanaan Tap MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967: melarang Bung Karno kembali melakukan kegiatan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MARHAENISME

· Marhaen

Orang yang menderita lahir batin akibat kapitalisme , kolonialisme/ imperialism ,feodalisme atau system lainya yang menindas dan mengungkung

· Marhaenis

Orang yang berjuang untuk kaum marhaen dalam membebaskan diri dari semua sistim yang mengungkung dan menindas dan mewujudkan masyarakat marhaenis yang tidak saling menindas

MARHAENISME

Ajaran bung Karno secara keseluruhan

v Bung karno dengan pisau analisa historis materialism menganalisa kondisi masyarakat Indonesia sebagai komunitas social ,hidup disuatu wilayah geo politik hindia belanda dan tidak dapat mengaktualisasikan tuntutan budi nuraninya (Social Consience Of Man )

Karena Apa ……?

Tertindas oleh system yang menindasnya , kolonialisme / imperialism ,anak kapitalisme dan feodalisme bangsa sendiri

BK (Bung karno) mencetuskan ideology disebut marhaenisme dengan asas

- Sosio Nasionalisme

- Sosio Demokrasi

- Sosio KeTuhanan YME